“I give up. I’m
tired. I’m gonna stop for look around.it’s enough.” Atau setidaknya, kata-kata
itulah yang meluncur dari mulutku dengan terbata-bata beberapa bulan yang lalu.
Waktu itu pertengahan Februari, dan aku baru saja mengalami patah hati untuk
yang kesekian kalinya. For the hundreds time, I feel the broken heart. I feel
the pain. Again.
Setelah aku
mengikrarkan untuk menyerah, suatu hari ada yang mendekatiku –tidak, bukan. Dia
sudah lama ada disitu, berdiri tepat di depanku sejak lama. Namun aku terlalu
buta untuk memahaminya. Aku terlalu tidak mempercayai diriku sendiri untuk
yakin bahwa dia memang tepat di depanku.
Membutuhkan waktu
yang tidak sebentar untuk bisa mempercayainya. Membutuhkan keberanian besar
untuk bisa melangkah ke dalam pelukannya. Membutuhkan dorongan yang luar biasa kuat
bagiku agar aku mampu menjilat kembali ludahku.
Tapi ketika
kekecewaan itu datang lagi, ketika kesedihan itu merajai lagi, ketika raungan
tangisanku ternyata tidak dapat kubendung lagi, aku hanya bisa terduduk lemas. Aku
tidak mampu melawannya. Karena kali ini aku sudah lelah.
Aku menysal
karena aku terlambat menyadari bahwa aku menyayangimu. Aku menyesal karena kini
aku harus menghadapi kelelahan dan kesakitan yang luar biasa. Aku juga sangat
menyesal, mengapa aku harus membuka hatiku untukmu, jika akhirnya akan begini
lagi.
Namun satu
hal yang akan ku ingat seumur hidupku, kata-kata yang pernah kamu utarakan
kepadaku. “Jangan cengeng dek.”